Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Makna Persaudaraan dan Kerukunan Antar Umat Beragama-Fikri Haekal Akbar

Indonesia sebagai Negara yang sedang berkembang dengan usia lebih dari 70 tahun dapat dikatakan sebagai Negara yang masih sangat muda dibandingkan dengan negara-negara lain seperti di Eropa atau Amerika Serikat. Usia yang muda ini dibandingkan dengan usia pembangunan nasional yang dimulai sejak perubahan tatanan sosial-politik lama (orde lama) ke tatanan sosial-politik baru (orde baru) masih sangat muda apalagi dengan jatunya orde baru di tahun 1908 sampai sekarang masih terlalu sangat muda untuk memperbaiki segala kerusakan sistem sosial, sistem kenegaraan, sistem ekonomi, sistem hukum, dan sistem-sistem yang lain. Karena itu, untuk memperbaiki ketidakseimbangan sistem yang terjadi di negara ini diperlukan integrasi sosial yang menyeluruh, apalagi keadaan masyarakat Indonesia yang sangat majemuk akan menyebabkan terjadinya banyak perbedaan. Kemajemukan masyarakat Indonesia dengan segala perbedaan yang dimiliki harus secepatnya meninggalkan perbedaan yang akan memperlambat tercapainya persatuan dan kesatuan sebagai suatu bangsa yang utuh, yang disebut Revolusi Integratif. Pengertian revolusi integrative pada hakekatnya menurut Geertz ialah berhimpunnya kelompok-kelompok primordial yang tradisional dan selama berdiri sendiri, ke dalam unit kemasyarakatan yang lebih besar dan tersebar, yang kerangka acuannya bukan lagi sebatas daera local melainkan lingkup bangsa dalam pengertian seluruh masyarakat di bawah pengayoman suatu pemerintah baru.

Indonesia sebagai negara yang masyarakatnya majemuk, pada awalnya memungkinkan terjadi pengelompokan-pengelompokan masyarakat berdasarkan ikatan primordial, yang terdiri dari,

1. Ikatan kekerabatan berdasarkan hubungan daerah (genealogis) atau keturunan. Dalam kelompok masyarakat akan memperhatikan kelompok kerabatnya dalam setiap organisasi kemasyarakatan. Misalnya :

-Menempatkan seseorang dalam suatu kantor atau instansi terlebih dahulu kerabtnya yang memiliki kemampuan untuk bekerja sebelum orang lain di luar kerabatnya

2. Ikatan Rasa atau Kesukuan. Ras sebagai ciri fisik seseorang atau masyarakat, seperti warna kulit, tipe muka, bentuk rambut dan lain-lain, akan berbeda dengan orang lain yang memiliki latar belakang ras yang berbeda pula. Misalnya :

- Sebuah lembaga sosial atau perusahaan karyawannya majemuk berasal dari berbagai daerah atau berbagai ras, tetap saja terjadi kemungkinan untuk menduduki jabatan tertentu akan diprioritaskan  orang yang memiliki ras yang sama dengan majikan atau pimpinan perusahaan.

3. Bahasa. Pengunaan bahasa daerah sebagai bahasa selalu dipakai oleh orang-orang yang berasal dari daerah bersangkutan, walaupun berada di antara orang-orang yang berbeda latar belakang daerah dan bahasanya. Misalnya :

- Dua orang atau lebih yang memiliki bahasa daerah yang sama di lingkungan orang-orang yang memiliki bahasa daerah berbeda, maka mereka akan berbicara dengan bahasa daerahnya.

4. Agama. Masyarakat yang majemuk dalam hal keagamaan akan mementingkan orang-orang yang seagama dalam menempati kedudukan di suatu lembaga atau instansi, walaupun hal ini tidak mutlak, tetapi dalam menempatkan pimpinan lembaga bersangkutan akan lebih baik apabila memiliki agama yang sama. 

Ikatan-ikatan primordial tersebut, merupakan awal dari pembentukan suatu bangsa, tentu saja lambat laun akan mengalami pergeseran dan perubahan kea rah yang lebih nasional tanpa terlihat adanya ikatan primordial lagi. Ikatan primordial di masyarakat akan melahirkan politik primordial pula, yaitu satu kesatuan yang terdiri atas sekumpulan politik yang berukuran kecil, memiliki otonomi, dan bersifat primordial.

Al-Qur’an, sebagai wahyu Allah, dalam pandangan dan keyakinan umat Islam adalah sumber kebenaran dan mutlak benarnya. Meskipun demikian, kebanaran mutlak itu tidak akan tampak manakala Al-Qur’an  tidak berinteraksi dengan realitas sosial, atau menurut Quraish Shihab, dibumikan: dibaca, dipahami, dan diamalkan. Ketika kebenaran mutlak itu disikapi oleh para pemeluknya dengan latar belakang kultural atau tingkat pengetahuan yang berbeda, akan muncul kebenaran-kebenaran yang parsial. Sehingga kebenaran yang diperoleh manusia menjadi relatif, sedangkan kebenaran mutlak tetap milik Tuhan. Untuk menggambarkan ini, pada hal-hal tertentu, misalnya, “kebenaran agama” Nahdlatul Ulama (NU), tidak berarti akan diterima pula sebagai “kebenaran agama” Muhammadiyah; begitu pula sebaliknya. Yang jelas-jelas dipandang sebagai tidak benar adalah ketika yang satu menyalahkan yang lain, atau saling menyalahkan tanpa argumentasi yang akurat. Inilah yang diingatkan Allah (Q.S. 49: 12) ketika melarang orang-orang yang beriman berprasangka, sebab sebagian prasangka adalah dosa. Demikian pula sebaliknya, menganggap diri paling benar, juga tidak diperkenankan (Q.S. 53: 32). Dengan sikap seperti itu, tidak berarti kita harus berdiam diri terhadap kemungkinan kesalahan orang lain atau lingkungan disekitar. Umat Islam harus bersikap kritis dan melakukan koreksi terhadap segala bentuk patologi sosial. Dalam doktrin Islam, sikap korektif ini disebut amar ma’ruf nahi munkar.


Selengkapnya file pdf

Posting Komentar untuk "Makna Persaudaraan dan Kerukunan Antar Umat Beragama-Fikri Haekal Akbar"