Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Efektivitas Santri Dalam Menghadapi Degradasi Moral Umat Di Era Modernisasi oleh John Indra Kurniawan-2024

Mendengar kata Santri pasti yang terbenak di fikiran kita adalah orang yang tinggal di Pondok Pesantren serta jauh dari orang tua, atau siswa yang belajar ilmu agama, kalau tidak kelak akan menjadi ahli agama di masa depannya. Semua itu pasti sudah melekat dalam identitas seorang Santri, lebih lagi waktu menjadi seorang Santri merupakan sebaik-baiknya waktu untuk membersihkan pemikiran dari hal-hal yang merusak keimanan. Seperti yang diungkapkan Imam Syafi’i dalam salah satu Sya’irnya: “Jika Anda tidak meyibukkann diri dengan kebenaran, maka ia (waktu) akan menyibukkakan anda dengan kebatilan”. Kesibukan Santri pasti tidak terlepas dari yang namanya menuntut ilmu untuk mencari Ridha Allah SWT. Serta mempersiapkan diri untuk mengabdi kepada masyrakat demi menjadi mundzirul qaum nantinya

Seperti yang disampaikan KH. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, hal.25-26 beliau menuturkan bahwa “Orang berilmu adalah orang yang niat belajarnya karena ridha Allah SWT, bersih hatinya, dan wara’. Bukan bermaksud untuk kepentingan duniawi, seperti untuk memperkaya, mendapatkan jabatan dan memperbesar pengaruh di hadapan orang lain. Bahkan, memperbanyak tidur dan makan bukanlah adab seorang Santri karena hal itu akan menghalangi ilmu. Kembali pada Niat yang benar dan membersihkan hati merupakan adab Santri terhadap dirinya.”

Di sisi lain ada yang jauh lebih penting dibanding ilmu, yaitu implementasi adab dan akhlaq dalam mendisiplinkan jiwa dan hubungan Santri kepada Sang Khaliq atau kepada sesama makhluk hidup, yaitu pentingnya dalam memprioritaskan adab dibandingan ilmu. Seperti dalam Mahfudzot yang berbunyi bahwa “Adab itu lebih tinggi daripada Ilmu”. Ini menandakan bahwa Adab di atas segala-galanya, sama halnya disaat kita belajar dan berusaha untuk meraih nilai ujian agar mendapat nilai yang tinggi, percuma nilai ujian kita bagus kalau diri sendiri kita saja tidak bernilai, maksudnya walaupun kita berhasil sukses di bidang akademis namun belum tentu kita lulus di bidang akhlak dan moralitas.  Hal ini selaras dengan apa yang sudah dijadikan asas dalam Pendidikan Pesantren, Dengan bekal pengetahun agama, pembiasaan spiritual, serta penanaman budi luhur, dan yang lebih penting adalah wejangan dari sesososk Kyai selaku pengasuh, melahirkan para alumninya memiliki prinsip hidup kuat akan wawasan agama dan karakter serta moral yang luhur



Dikutip dari perkataan K.H Hasan Abdullah Sahal mengemukakan bahwa “Sekarang ini bencana Akhlak lebih gawat, lebih bahaya, lebih berat daripada bencana alam. Justru bencana Alam terjadi karena bencana akhlak. Contoh bencana akhlak, adanya ulama yang tidak percaya umat dan umat yang tidak percaya ulama.” Kemudian siapa lagi yang akan lahir dari kalangan para ulama kalau bukan Santri? Maka dari itu pentinglah bagi Santri untuk menciptakan pengaruh dan dampak positif bagi umat di era yang penuh paradigma serta kerusakan moral yang semakin hari semakin susah untuk di kontrol keberadaannya 

Kefektivitasan Santri disini sangat diperlukan keberadaannya, apalagi di era yang serba canggih ini. Banyak dari umat kita saat ini lebih mementingkan kesenangan semata yang  disibukkan dengan perilaku dan tingkah laku yang tidak semestinya dilakukan, seperti aksi tawuran remaja, perjudian, vandalisme, seks bebas yang mengakibatkan kehamilan di luar nikah, serta alkohol dan penggunaan narkoba yang semakin marak menghiasi media social serta surat kabar saat ini. Sehingga mengakibatkan rusaknya akhlak dan perilaku, terutama di kalangan para pemuda yang mana mereka merupakan para penerus generasi masa depan. Padahal telah dikatakan bahwa “Youth Today is a Leader Tomorrow” atau Pemuda hari ini adalah Pemimpin esok hari, namun jika pemudanya saja sudah tidak memiliki moral dan akhlak serta jiwa kepemimpinan yang kuat, Lalu siapa lagi yang akan menjadi pemimpin bangsa? 

Merujuk pada awal ajaran Islam, jauh sebelum kewajiban shalat, puasa, haji, dan zakat yang diperintahkan oleh Allah, Kesempurnaan Akhlak merupakan dasar utama dan yang menjadi tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad ke muka bumi ini. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa masyarakat tanpa standar moral dan akhlakul kariamah, maka masyarakat itu akan menjadi tidak bermakna. Ini pula yang menjadikan sandaran dalam pengajaran agama Islam bahwa Santri merupakan solusi bagi para ulama dan masyrakat untuk mejadi wakil ulama dan mengawal serta menjadi pewaris tahta Rasulullah dalam membangun karakter bangsa  serta menjujung ajaran Islam dalam arti yang sesungguhnya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.

إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الْأَنْبيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَاراً وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ  أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu. Barang siapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. al-Imam at-Tirmidzi). 

Hadist di atas menyatakan bahwa pentingnya peran ulama dan ia merupakan perpanjangan tangan kanan nabi dalam menyebarkan agama islam. Ulama juga manusia, yang mana ia juga memiliki batas-batas waktu di dunia ini oleh karena itu kita butuh yang namanya regenarasi atau mencetak kader-kader penerus bangsa dan agama. Dalam hal ini para santri lah yang menjadi tonggak estafet ulama, karena dalam KBBI santri yaitu orang yang mendalami ilmu agama islam atau orang yang beribadah dengan sungguh

Menurut KH. M.A Sahal Mahfudz kata Santri berasal dari Bahasa Arab “Santaro” yang mempunyai jama’ Sanatir (beberapa Santri). Dibalik kata “Santri” memiliki makna di setiap hurufnya yaitu (sin, nun, ta’, dan ra’):

1. Sin, memiliki makna “Satrul Aurat” (menutup aurat) sebagaimana layaknya kaum santri yang mempunyai kebiasaan memakai pakaian yang menutupi aurat yang tak lain menutupi kemaluan yang dianggap sangat vital. Hal terpenting di sini adalah bagaimana santri diajarkan untuk memiliki rasa malu, artinya malu ketika setiap perilakunya bertentangan dengan syari’at dan norma yang ada.

2. Nun, yang bermakna “naibul ulama” (wakil dari ulama). Dalam koridor ajaran Islam dikatakan dalam suatu hadist bahwa “ulama adalah pewaris para nabi). Rasul merupakan pemimpin umat, begitu juga ulama. Sehingga santri yang menimba ilmu di pesantren ditempa agar memiliki kepekaan sosial yang tahu akan problematika umat, serta mampu menyelesaikan problematika tersebut secara arif dan bijaksana.

3. Ta’, yang bermakna “tarkul ma’ashi” (meninggalkan kemaksiatan). Dengan dasar ilmu agama yang dimiliki, kaum santri diharapkan mampu memegang prinsip serta konsisten terhadap pengamalan amar ma’ruf nahi munkar.

4. Ra’, yang bermakna “raisul ummah” (pemimpin umat). Tugas manusia di muka bumi ini yaitu sebagai khalifah (pemimpin). Jadi santri digembleng untuk menjadi pemimpin yang mampu memberikan perubahan yang positif sesuai yang diharapkan Islam

Makna diatas merupakan gambaran dasar dari asas dan tujuan Pendidikan di pesantren bahwa Santri itu harus selau siap untuk ditempa, digembleng untuk menjadi kader yang berkarakter, berakhlaqul karimah serta menjunjung tinggi nilai moral yang berlaku di masyarakat nantinya. 

Santri juga dinilai sebagai manusia yang ideal, kenapa? Karena sejak dini mereka tidak hanya diajarkan perihal keagamaan, melainkan mereka juga mempraktikkannya dalam realitas kesehariannya. Inilah yang menjadi nilai plus dari seorang Santri yang tidak hanya disebut sebagai orang ‘alim, namun juga sebagai seorang ‘amil. Kesadaran akan ilmu yang yang merkea dapat dan dikauasinya dapat melahirkan hal nyata entah terkait amaliyah yang berdampak baik dalam keshalihan pribadi Santri itu sendiri atau keshalihan social. Di samping itu pula, karakter tawassuth (sikap tengah-tengah), tawazun (seimbang), I’tidal (tegak lurus), tasamuh (toleransi) yang dibiasakan sejak dini di Pesantren serta langsung dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari membentuk Budaya yang damai, menjaga nilai-nilai kemanusiaan serta tepo sliro (dalam berkomunikasi harus memperhatikan perasaan orang yang diajak bicara), sehingga diharapkan dapat menangani dan menangkal berkembangnya paham radikalisme yang marak terjadi di era modernitas sserta globalisasi saat ini. 

Peran Santri sebagai generasi isalm yang moderat memiliki konsep dan dasar teoritis yang kokoh untuk menunjukkan gagasann dan wawasannya dam berbagai disiplin ilmu. Sebgaimana yang dicontohkan Rasulullah sebagi pembebas, memanusiakan manusia, mencerahkan, mendewasakan sertaa memberdayakan umat yang tidak berdaya atau kaum lemah. Hal ini selaras dengn apa yang disampaikan seorangg penulis Bernama Danang Satrio Priyono, S.Psi, yang menyatakan bahwa Liberation, empowerment, and intellectualization akan mengarah pada kecenderungan open-minded dan kritis pada tiap problematika adalah langkah-langkah pemberdayaan yang memiliki rujukan siratunnabi serta akan menghasilkankarya-karya berkualitas yang merupakan perpaduan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengetahuan agama, kecerdasan spiritual, dan semangat jihad fisa bilillah lil maslahtil ummah.

Dari sini kini tahu bahwa peran santri dalam menghadapi globalisasi ini sangat penting, karena ia merupakan orang yang dididik dan di ajarkan tentang agama islam dan pengetahuan umum. Namun perbedaannya dengan yang lain, para santri memiliki bekal dan akidah yang kuat dan menjadi penerus para ulama. Dan mereka dituntut untuk memberikan contoh yang baik dan mengajak orang lain kepada kebenaran sebagaimana perannya ulama di tengah masyarakat, serta menjadi manifestasi dalam memberikan efektivitas  dalam mewarisi juga menjaga ilmu dan nilai-nilai agama Islam yang konsisten, toleran serta dalam melindungi benteng kebergaman umat untuk memechakan permasalahan Degradasi Moral Umat Di Era Modernisasi sat ini.

Posting Komentar untuk "Efektivitas Santri Dalam Menghadapi Degradasi Moral Umat Di Era Modernisasi oleh John Indra Kurniawan-2024"